Sebagai pemuda bangsa yang sedang kita lalui saat ini adalah hari hari yang sangat memilukan bagi kehidupan, hati nurani, dan akal sehat. Perekonomian bangsa kita sedang sekarat, para wakil yang harusnya menjadi harapan memberikan cahaya justru malah berselingkuh dengan kegelapan.
Tragedi pembantaian, pembunuhan, pengrusakan Alam, kemana pemerintah kita yang telah di beri amanah oleh rakyat ketika rakyatnya sedang menjerit.
Rakyat diperlakukan seperti anak-anak kecil, selalu dianggap potensial untuk bodoh dan bersalah. Politikus tidak lagi mengenali dirinya sebagai pelindung dan pelayan dari kedaulatan rakyat. Di mana para pelakunya melakukan perjalanan sejarah yang berpangkal tidak di kepentingan rakyat dan berujung juga tidak untuk kesejahteraan rakyat. Para politikus hipokrit bisa dengan mudah membeli ‘parfum-parfum’ untuk mengubah kebusukan menjadi seakan-akan berbau harum.
Inilah hari-hari di mana titik nadir demokrasi telah dicapai dengan amat sukses, sehingga budaya otoritarianisme semakin tidak bisa dikontrol. Demokrasi yang melahirkan rezim kleptokrasi dengan mudahnya mempermainkan hukum untuk melindungi kepentingannya. Hukum harusnya bertujuan menciptakan aturan yang adil dan berpihak pada rakyat dalam artian sesuai dengan kebutuhan, harapan, dan nilai-nilai dalam masyatakat.
Inilah hari hari dimana hati nurani berontak akan kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan, “pemberontak adalah mereka yang berani berkata tidak”(Albert camus). Termasuk dan terutama dari kalangan Mahasiswa yang notabene sebagai kaum intelektual, agent of change, moral force, dan iron stock. Sejarah bangsa ini tak lepas dari perjuangan pemuda khususnya mahasiswa, derasnya arus perlawanan dari mahasiswa kian di dengungkan melalui gerakan parlemen jalanan. Namun sayangnya, pemberontakan dari mahasiswa belum menemui titik terang. Tak dapat di pungkiri taring dari mahasiswa kian rapuh, zaman millenial penuh dengan ancaman globalisasi menyebabkan gerakan mahasiswa cenderung diletantisme.
“Diletantisme bisa dipahami sebagai pengetahuan yang dangkal dalam ilmu atau seni karena sikap yang salah, dalam berbagai gejala dan bentuk manifestasinya”(A. Mangunhardjana, 1997). Diletantisme bisa dipicu lingkungan yang manja, perasaan cukup diri, dan kemalasan.
Kita hidup di masa yang penuh keberlimpahan informasi, buku-buku, hingga ketersediaan informasi media daring. Tetapi tanpa adanya sikap dan tuntutan untuk menempa diri menjadi berkualitas lewat kompetisi, pada akhirnya hanya akan melahirkan individu dengan kemampuan yang dangkal. Ketergesaan bertindak, perspektif yang menggeneralisir, serta sikap-sikap yang gemar memberi simpulan tanpa lacakan yang mendalam, merupakan bagian dari gejala diletantisme.
Pun dengan perasaan cukup diri dari seorang Mahasiswa, merasa sudah cukup dengan yang dia ketahui, merasa cukup hanya dengan sekali demonstrasi sekali dan eksis di media. Inilah yang di sebut oleh Paulo preire kesadaran Naif. Ia baru sekedar mengerti bahwa dirinya itu tertindas,Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial.
Pada titik ini, saya pun merasa khawatir, jangan-jangan saya juga terjangkit diletantisme. Maka setelah sadar bahwa ada yang salah dan harus di perbaiki, hal selanjutnya yang harus di lakukan adalah melakukan analisis yang mendalam dan praksis yang tak sekedar reaktif.
“Aku Berontak Maka Kita Ada (Albert camus)”!!!!